Informasi Peluang Bisnis Mudah

Grosir Batik Distroku

Ekspor pakaian Muslim ke negara minoritas Muslim

Share on :
Ekspor pakaian Muslim ke negara minoritas Muslim __ Meski ini mungkin untuk sementara, bidikan ini menunjukkan ada pasar ekspor lain untuk produk Muslim.

Beruntunglah ada komunitas. Berkat perkumpulan informal orang-orang satu minat ini, boleh dibilang, apapun bisa dicapai. Termasuk bisnis pun bisa dimulai dan dikembangkan dari komunitas.

Komunitas Tangan Di Atas (TDA) barangkali merupakan salah satu komunitas bisnis yang perkembangannya dahsyat. Salah satu anggotanya, Abdul Rahman Hantiar, merasakan manfaat komunitas ini.

TDA bekerjasama dengan PT Antheus Indonesia yang menyelenggarakan Indonesia Textile and Apparel Fair (ITAF) 2006. Anggota TDA mendapatkan dispensasi ikut menjadi peserta pameran secara gratis dengan persyaratan tertentu. Salah satu peserta yang ikut adalah Abdul Rahman Hantiar, 27 tahun. Hantiar memajang aneka produk yang semula dikembangkan istrinya sejak 2002 berupa produk-produk pakaian Muslim.

Tak dinyana, pameran ITAF yang mendatangkan calon buyer dari luar negeri itu, membuka pintu Hantiar untuk mengekspor produk-produknya. Memang tidak gampang karena ia baru bisa merealisasikan ekspornya satu tahun kemudian sejak pertama kali bertemu calon pembelinya itu. Tetapi itu sudah menjadi berkah yang begitu besar bagi Hantiar dan istrinya. “Banyak yang saya pelajari dari buyer saya itu. Sekarang saya sudah menganggap dia saudara,” katanya mengenai buyernya yang asal Dubai itu.

Tak Henti Korespondensi

Cara Hantiar mendekati calon buyer-nya patut dicontoh. Sejak pertama bertemu calon buyer-nya Hantiar terus melakukan komunikasi melalui surat elektronik (email). Ia kirimkan gambar produk yang akan diproduksinya. Lalu calon pembelinya itu memberi komentar ini-itu untuk perbaikan model dan lain sebagainya. Terus kirim ulang gambarnya. Kemudian diskusi berlangsung baik melalui email atau chatting via internet.

Untuk meyakinkan mitranya ia mengirimkan contoh produknya. “Untuk mengirim empat potong pakaian contoh (sample) menggunakan jasa Fedex diperlukan biaya sekitar Rp 1 juta (per 2 kg),” katanya. Ini belum produk sebenarnya.

Untuk menambah pengetahuan ekspornya ia ikut pelatihan ekspor yang diadakan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN). Program ini sebenarnya sudah pernah ia tempuh sebelum pameran ITAF berlangsung. Dan program kedua ia ambil lagi setelah pesanan itu ia dapat. “Jadi saya ikut pelatihan eksor dua kali. Yang terakhir karena memang saya akan praktek ekspor,” papar anggota Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Kerjasama Islamic Center Indonesia Departemen Ekonomi dan Bisnis itu

Jangan dikira ini pun mulus. Ketika si buyer memesan 5.000 potong pakaian Muslim di tengah-tengah proses produksi baru ketahuan kalau produknya kurang memenuhi standar buyer. Akibatnya sebanyak 2000 potong tak bisa dikirim. Jumlah pakaian sebanyak itu, kata dia, setara dengan nominal Rp 90 jutaan. Untunglah sisanya yang 3.000 potong bisa mengejar kualitas seperti yang dipesan. Maka pada bulan Ramadhan (Otober 2007) lalu Hantiar mengirim ekspor pertamanya sebanyak satu kontainer ke Dubai. Biaya pengiriman ini, kata dia, mencapai Rp 19 jutaan.

Meski ekspor awal tersendat, ia mendapatkan banyak pelajaran berharga dari prosesnya. Bersama buyer-nya ia pelan-pelan memperbaiki mutunya. “Permintaan buyer yang menuntut mutu tinggi membuat produk pakaian Muslim saya kini memiliki standar kualitas yang tinggi,” ia memaparkan salah satu keuntungan ekspornya. “Saya makin sadar kalau produsen Indonesia itu belum bagus kualitas kontrolnya. Selain itu mind set-nya belum best quality minded,” ujarnya.

Sejauh ini Hantiar memang belum memproduksi sendiri produk-produk yang akan diekspornya. Ia memanfaatkan jaringan kekerabatannya untuk memproduksi pakaian ekspornya. Tetapi sukses langkah pertama umumnya diikuti langkah berikutnya yang lempang. Hantiar pun mengalami hal serupa. Sekitar Februari ini ia sudah akan mengirim barang ekspornya ke buyer yang lain di negara yang berbeda. Aktifnya ia di Islamic Center menambah kekerabatannya di berbagai negara. Seorang calon pembelinya di Selandia Baru ia temukan dari organisasi itu meminta produk pakaian Muslimnya untuk dipasarkan di sana.

Ini memang unik, Selandia Baru yang penduduk Muslimnya minoritas ternyata memberikan peluang usaha yang lumayan. Ia bahkan tengah membidik negara-negara minoritas Muslim lain untuk memasarkan produknya dengan memanfaatkan komunitas Muslim dunia yang ia masuki. “Jika orang lain ramai-ramai memasuki pasar di negara yang penduduk Muslimnya besar saya justru membidik pasar negara yang penduduk Muslimnya minoritas, setidaknya untuk sementara ini,” ujarnya. Di Selandia Baru, pengguna produknya kemungkinan orang-orang Muslim asal Malaysia atau Pakistan, katanya.

Menurut dia, sebenarnya, dengan membidik pasar luar negeri (ekspor) itu bagi pakaian Muslim bukanlah sesuatu yang luar biasa kalau dilihat dari pangsa pasarnya. “Untuk jenis pakaian Muslim, pasar terbesar sebenarnya ada di dalam negeri,” kata dia. Tetapi bisa ekspor memberikan makna tersendiri. Apalagi itu bagi produk yang dimulai dari modal yang sekitar Rp 5 juta.

Ekspor Produk Lain

Bisnis garmen yang melakukan eskpor ini, menurut dia, sebenarnya bisnis yang dijalankan istrinya mulai tahun 2002 lalu dengan modal Rp 5 jutaan tadi. Ia sendiri sebenarnya mengeloa bisnis konsultan yang dimulai tahun 2001. Bisnis konsultannya ini ia jalankan dengan modal jauh lebih besar dari bisnis garmen istrinya. Namun sejak pameran ITAF itu ia kini justru ikut menggarap bisnis garmen yang dikelolanya bersama istri di bawah naungan PT Wahana Cipta Adhikarya (WCA).

Sekarang Hantiar sedang merintis WCA untuk menjadi holding company. Sudah tentu sebagai perusahaan induk WCA akan memiliki anak perusahaan. Salah satunya adalah yang menggarap industri multimedia. Ia sedang menggarap memproduksi multimedia untuk anak-anak Muslim. Selain itu baru-baru ini ia bekerjasama dengan sejumlah rekannya mendirikan usaha baru di bidang produk kerajinan. Yang dikembangkannya adalah kerajinan mebel dengan ukiran batik. Pada sekitar April 2008 mendatang ia dan rekannya akan ikut pameran di Prancis berkat dukungan dari KBRI di Paris.

Ceritanya, ia bertemu dengan seorang staf KBRI Paris di Jakarta. Dari sini lalu muncul tawaran untuk ikut pameran di sana. Tentu saja tak gampang menjadi peserta yang sejumlah akomodasinya ditanggung pemerintah ini. Paling tidak, kata Hantiar, produk itu harus dianggap layak mewakili Indonesia di pasar dunia. Selain itu, kapasitas produksinya juga harus sesuai dengan yang dipersyaratkan KBRI. “Maksudnya, jika suatu kali ada pesanan dari sana, produksinya bisa memenuhi pesanan itu,” kata dia. Ia tak tahu berapa kapasitas produksi minimal yang harus dipenuhi agar bisa mendapat kesempatan berpameran di sana. “Tapi saya hanya mengajukan proposal dan melakukan presentasi. Mungkin karena saya dianggap memenuhi syarat itu,” paparnya.

Produk yang akan ditawarkannya semacam meja atau kursi dengan ukiran batik dan produk kerajinan kayu lainnya. Ada sejumlah rekan yang berkecimpung di produk seperti ini yang mendukungnya, katanya. Ini langkah berikutnya yang akan ditempuh Hantiar. Jadi ibarat membuka pintu gerbang ketika ekspor pertamanya dilakukan, setelah itu pintu-pintu ekspor baru terbuka lebih mudah.

sumber Majalah

0 komentar on Ekspor pakaian Muslim ke negara minoritas Muslim :

Post a Comment and Don't Spam!

˘